"Mestikah Ayah Nyatakan Wahai Anakku...?"
(Oleh Dr. Agus Setiawan)
Sudah hampir 7 tahun seorang anak belum kembali ke tanah air. Dirinya sedang merampungkan tesis master di sebuah kampus ternama di LN. Sejak S1 anak tersebut belum kembali.
Maklum ia berasal dari keluarga biasa-biasa saja.
Saat berangkatpun hanya dibelikan tiket one way.
Suatu hari saat ia ditelpon ayah nya dari kampung.
Sang anak bertanya keheranan.
"Bagaimana kabar ayahanda di tanah air?" Tanya sang anak.
Diam tak ada jawaban untuk sesaat.
Kemudian terdengar suara lirih,"Sebenarnya sih ayah kurang sehat", jawab sang ayah.
"Kamu berapa lama lagi selesai kuliah nya nak?" Sambung si ayah. Ada nada rindu disana.
"Doakan sebentar lagi ayah. Oia, apa ananda perlu pulang?" Tanya sang anak.
Terdengar tarikan nafas panjaang,"mmmhh...Ndak perlu, selesaikan saja segera kuliahmu. Lalu segera lah kembali. Sudah ya...Assalamu'alaikum", suara sang ayah parau. Sedih...
Saat itu di rumah sang anak ada beberapa tamu.
Seorang tamu melihat kesedihan tuan rumah usai menerima telpon. Ditanya lah," Ada apa bang?"
"Ayahku sakit", jawabnya.
"Lalu, abang akan pulang ke kampung?" Tanya tamu itu lagi.
"Tadi saya tanya, tapi kata ayah kami tidak perlu pulang. Hanya segera selesaikan studi lalu kembali ke kampung", jawab tuan rumah.
"Bang...saat abang tanya; apakah abang perlu pulang. Tentu ayah anda terfikir berapa biaya nya. Tentu berat.
Mengapa kita sebagai anak tidak mampu memahami keinginan orang tua, sampai orang tua menyatakan nya. Padahal orang tua kita begitu faham akan keinginan kita (saat kecil) sebelum kita menyatakannya". Nasehat sang tamu.
Ternyata selang beberapa bulan kemudian sang ayah wafat. Lebih mengharukan lagi, beliau wafat sambil mendekap selimut yang dulu dipakai anaknya saat di asrama sekolah.
Subhanalloh
Kita sering 'memaksa' orang tua untuk menyatakan apa mau mereka, tanpa mampu memahami nya dengan isyarat...
Kita sering 'memaksa' ibu bapak kita untuk mengucapkan keinginan mereka, padahal mereka harus menekan rasa malu...
Astaghfirulloh
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ
Imam Muslim berkata :
Telah menceritakan kepada kami [Syaiban bin Farrukh]; Telah menceritakan kepada kami [Abu 'Awanah] dari [Suhail] dari [Bapaknya] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau ditanya; “Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya).”
(HR. Shahih Muslim: 4627)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar